Podcast Dedy Corbuzier |
KARAWANGPORTAL - Tanggal 11 Januari 2022 lalu, akhirnya Jaksa Penuntut Umum menuntut hukuman mati atas Herry Wirawan atau HW, pelaku pemerkosa 13 santriwati di Bandung. Selain hukuman mati, dalam sidang itu jaksa juga menuntut Herry dengan pidana tambahan berupa kebiri kimia.
Tuntutan JPU ini mengacu kepada Pasal 81 ayat 1 ayat 3 dan 5 juncto Pasal 76 huruf D UU RI Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU juncto pasal 65 ayat 1 KUHP.
Pada kasus pidana pemerkosaan 13 santriwati ini sekilas memberi kesan bahwa jajaran Penegak Hukum kita sedang berusaha menindak tegas HW dengan menuntutkan hukuman yang sepenuhnya berpihak pada para korban.
Namun di Indonesia, tuntutan hukuman mati apalagi hukuman kebiri pada pelaku pemerkosa masih menjadi perdebatan. Hendropriyono, Ketua Senat Dewan Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Militer, Guru Besar Sekolah Tinggi Intelejen Negara, berpendapat terkait tuntutan JPU tersebut. Baginya, tuntutan hukuman mati dan kebiri atas tindak pidana HW dipandang sebagai satu tuntutan yang amoral.
Tak bisa dipungkiri bahwa tuntutan JPU atas HW telah membuat masyarakat bersorak gembira. Namun, tanpa disadari hukuman mematikan HW justru dipandang Hedropriyono juga ikut mematikan hak-hak perdata para korban. Apakah kemudian kematian HW bisa menyelesaikan permasalahan pertanggungjawabnya atas bayi-bayi yang dilahirkan para korban? Terlepas dari sejarah perbuatan, bayi-bayi yang dilahirkan tetap merupakan mahluk yang tidak bersalah.
Lalu mengapa mereka kemudian harus turut dihukum dengan menjadikan mereka sebagai anak yatim? Terlebih pada pengakuan HW di persidangan bahwa hubungan sex yang dilakukannya dengan para korban berdasarkan suka sama suka. Hendropriyono menyatakan bahwa ada perbedaan yang jelas antara mendukung suatu nilai moral sosial dengan memaksakan moral sosial tersebut pada individu.
Perbedaan dua sudut pandang moral tersebut tidak hadir dalam suasana kebatinan pada saat Undang-Undang yang menjadi dasar tuntutan dibuat dan diubah. Moral sosial yang dijunjung adalah demi kebaikan negara, yaitu memberikan efek jera kepada HW dan kepada individu-individu masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan serupa.
Jika perbuatan HW, yang telah menghasilkan 8 bayi, dihukum mati sebagai hukuman yang dipandang telah menjunjung moral sosial, lalu siapa yang harus bertanggungjawab terhadap kematian perdata yang luas dan bersambung terhadap pada santriwati yang dipandang sudah menjadi korban? Catatan : hak perdata korban adalah hak atas pertanggungan dan tanggungjawab 'ayah' terhadap 8 bayi yang telah dilahirkan.
Mulai dari biaya pertumbuhan dan perawatan hingga kebutuhan para bayi atas sosok 'ayah'. Hendropriyono berpendapat bahwa jika tanggungjawab hak perdata para korban ini menjadi tanggungjawab Negara sebagai akibat dari hukuman mati terhadap 'ayah' dari 8 bayi yang dihasilkan, maka Negara yang adil harus juga bertanggungjawab secara sistimatik terhadap kemungkinan kasus serupa sedang berlangsung atau masih belum terungkap.
Saya pribadi sependapat dengan pandangan beliau. Bagi saya, sebuah tindakan perkosaan disebut perkosaan jika dilakukan secara paksa dan hanya terjadi satu kali. Setelah kejadian, korban memiliki hak penuh untuk melaporkan perbuatan bejat itu pada pihak kepolisian. Jika tindakan serupa terjadi lebih dari satu kali, maka tindakan kedua tidak bisa disebut perkosaan.
Pelaporan kepolisian bisa dipandang sebagai upaya korban untuk melindungi diri dari perbuatan yang sama dengan meminta perlindungan pada kepolisian. Selama korban tidak melaporkan perkosaan pertama pada kepolisian atau pihak lain seperti orangtua, selama itu pula pelaku tidak akan merasa mendapatkan ancaman untuk menghentikan perbuatannya.
Mungkin korban diancam dan takut untuk melaporkan, tetapi jika korban ingin terhindar dari perbuatan yang sama, maka korban harus mampu bertindak melindungi diri dan meng-come-over rasa takut tersebut dengan menceritakan peristiwa pada orang terdekat seperti orangtua. Apalagi pada kasus HW, tindakan imoral itu dilakukan berkali-kali selama bertahun-tahun dengan seluruh korbannya di tempat yang berbeda tanpa upaya paksa.
Bahkan beberapa korban mampu melahirkan lebih dari satu bayi. Kata atau istilah "perkosaan" sudah tidak layak lagi dikenakan pada peristiwa ini. Terhadap hukuman tambahan yaitu kebiri kimia pada HW, Hendropriyono juga memandangnya sebagai sebuah tuntutan yang galat (keliru).
Sanksi hukuman harus ditujukan pada disfungsi psikologis dari kejiwaannya, dan bukan pada pisiknya dengan mematikan zat testosteronnya. Mematikan kandungan biologis untuk berkembang biak yang ada di dalam raga setiap mahluk merupakan penentangan terhadap hukum alam.
Tindakan Negara yang galat demikian itu adalah amoral, karena mengusung kebenaran otoritas yang menyalahi takdir Tuhan. Hukuman mati lebih dapat dikenakan pada orang yang secara sadar telah menghilangkan nyawa orang lain atau dikenakan pada orang yang secara sadar telah merusak masa depan orang lain (seperti pengedar narkoba).
Tapi pada pelaku pencabulan, apalagi 'pencabulan' yang dilakukan secara berkala seperti kasus HW ini, sangatlah tidak tepat.
Pandangan Hendropriyono atas tuntutan hukuman mati dan kebiri terhadap HW cukup menampar kita semua sebenarnya. Terutama para Pembuatan Peraturan yang kurang luas memandang permasalahan moral sosial saat mereka menyusun, membuat dan mengubah undang-undang yang menjadi dasar tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Sementara masyarakat terlalu mengedepankan emosi dan amarah hingga berkeinginan untuk mematikan HW tanpa mengingat bahwa ada 8 bayi dan 13 perempuan yang memerlukan pertanggungjawaban moral sosial dari HW sendiri.
Hendropriyono mengatakan, jika masyarakat bisa lebih mengedepankan nalar dan akal sehat, sedianya mereka menuntut hukuman atas HW tanpa harus merugikan para 'korban'.
Membuka identitas HW pada publik, menutup sekolah madrasah yang didirikannya, atau melabeli HW sebagai predator, yang pada saat yang sama mewajibkan HW untuk menanggung hak perdata pada 'korban' dan bayi-bayi mereka, bisa menjadi sebuah hukuman yang berkeadilan.
Catatan : Amoral adalah perilaku yang tidak memperhatikan moral. Amoral adalah kata sifat yang bersifat netral, tidak jahat juga tidak baik. Orang yang disebut amoral, belum tentu seorang penjahat. Perilaku mereka bisa didasari karena ketidaktahuan aturan atau tidak peduli pada atural. Sedangkan imoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan aturan.
Orang yang berperilaku imoral tahu adanya aturan yang melarang perilaku yang dilakukannya. Mereka dengan sadar melakukan pelanggaran atas aturan pelarangan tersebut. Seperti misalnya tindakan korupsi, menerima sogokan, berbohong, menipu dan lain sebagainya (sumber : seword.com).
No comments:
Post a Comment
Karawang Portal | adalah tempat belajar blogger pemula dan profesional. Kamu bisa menemukan kami di sosial media berikut.
Note: Only a member of this blog may post a comment.