Notification

×

Iklan

Iklan

Sukardi, Dari Tanjung Priok Hijrah Ke Talangsari

Thursday, January 7, 2021 | 11:19 WIB Last Updated 2021-01-07T04:19:56Z
karawang portal
Sukardi, Dari Tanjung Priok Hijrah Ke Talangsari
 
KARAWANG PORTAL — Tokoh pelaku peristiwa Talangsari 1989, Sukardi, ternyata juga punya andil bagi lahirnya kasus Tanjung Priok yang terjadi lima tahun sebelumnya.


Sekitar tiga dekade lalu, tepatnya 12 September 1984, peristiwa Tanjung Priok meletus. Bermula dari isu anggota Babinsa masuk masjid tanpa membuka sepatu, diikuti dengan pembakaran sepeda motor milik aparat, dan berlanjut dengan penangkapan terduga pelaku pembakaran sepeda motor yang diklaim sebagai aktivis remaja masjid.

Sukardi di tahun 1984 adalah Ketua IRMADAS (Ikatan Remaja Masjid Darus Salam). Dalam sebuah pertemuan internal, pengurus Irmadas memutuskan menyelengarakan acara peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Wakil Ketua Irmadas, Marsadi, ditunjuk sebagai Ketua Panitia kegiatan. Acara ini mendapat dukungan Amir Biki, tokoh Tanjung Priok yang berpengaruh.

Tanggal 5 September 1984 ditetapkan sebagai hari pelaksanaan. Narasumber juga sudah ditetapkan yaitu Syarifin Maloko dan Abdul Qadir Djaelani, yang digelari sebagai mubaligh garis keras dan singa podium.

Tiga hari menjelang pelaksanaan, Ketua Masjid Darus Salam memanggil Sukardi dan kawan-kawan, menyatakan keberatannya terhadap dua mubaligh yang dikenali sering mengkritisi pemerintah.

Sukardi bergeming. “Saya selaku Ketua Irmadas akan bertanggung jawab atas segala risiko…,” begitu jawaban Sukardi yang menyebabkan pengurus Masjid Darus Salam merasa tidak dihargai.

Untuk memuluskan acara, Sukardi bersiasat. Pagi hari tanggal 5 Setember 1984, ia melarang seluruh panitia dan pengurus Irmadas berada di lokasi masjid yang direncanakan sebagai venue. Tujuannya, untuk menghindari reaksi penolakan dari pengurus masjid. Namun, segala kepentingan acara sudah dipersiapkan oleh Sukardi dan kawan-kawan.

Sukardi dan kawan-kawan mulai bergerak sekitar jam empat sore. Pengurus Masjid terdadak. Acara pun berjalan sebagaimana direncanakan Sukardi dan kawan-kawan. Dari dua narasumber, hanya Syarifin Maloko yang hadir di tengah-tengah ribuan jamaah dengan judul ceramah Pejabat Yang Kesetanan (Sukardi, 2006:34).

Aparat keamanan juga merasa terdadak. Setelah kejadian itu, Sersan satu Hermanu meningkatkan kewaspadaan, ia jadi lebih intensif melakukan pembinaan wilayah. Dari sinilah lahir isu “tentara kafir masuk Mushalla tanpa membuka sepatu”. Padahal, Hermanu seorang Muslim. Konten provokatif seperti itu kini namanya hoax. Masyarakat yang sudah terbakar oleh ceramah Syarifin Maloko pada acara yang digelar Sukardi dan kawan-kawan Rabu malam sebelumnya, semakin membara dengan beredarnya hoax seperti itu.

Pada tanggal 10 September 1984, ketika Hermanu bersama Sersan Satu Rahmat berada di ujung gang IV dekat Mushalla Assa’adah, mereka berpapasan dengan dua sosok anak muda. Kedua anak muda itu mengenali Hermanu sebagai tentara yang beberapa hari lalu memasuki mushalla tanpa melepas sepatu. Kedua belah pihak berusaha melakukan tabayun, di Pos RW terdekat.

Ketika proses tabayun sedang berlangsung, sejumlah massa cair terhimpun. Mereka menunjukkan keberingasannya, ada yang berteriak-teriak dengan makian. Bahkan, ada yang membakar sepeda motor Honda GL-125 yang biasa ditunggangi Hermanu. Tindakan itu sudah kriminal. Wajar saja bila aksi pembakaran itu diikuti dengan penangkapan terhadap terduga pelaku. Namun tiga dari empat orang yang ditangkap, sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan aksi pembakaran. Satu orang lainnya, memang berada di lokasi terjadinya motor dibakar. Namun ia menyangkal, bahkan hingga kini.

Saat itu, akal sehat sudah tertimbun hoax dan tehanguskan oleh narasi mubaligh yang membakar-bakar. Mereka menuntut empat orang yang ditangkap untuk dibebaskan.

Bahkan Amir Biki menggelar forum pengajian untuk menegaskan tuntutannya agar aparat segera membebaskan keempat orang tersebut, seraya melansir ultimatum: “Apabila sampai jam sebelas malam ini teman-teman kita tidak segera diantar ke panggung ini, maka saya minta kelompok Kebun Bawang, kelompok Warakas, kelompok Kalibaru dan kelompok Bahari, untuk memimpin jamaah nanti jam sebelas ke tempat penguasa! Yang sebelah kiri, akan mengikuti perintah yang telah diatur. Kemudian yang sebelah kanan ini, akan dipimpin oleh kelompok Koja. Saudara sudah tahu kelompok Koja? Gorok Cina…! (Wasis, 2003 : 106-107).

Rabu malam, 12 September 1984, sekitar jam 23:00 wib massa pengajian dipimpin Amir Biki bergerak menuju markas Kodim yang berjarak sekitar lima kilometer dari lokasi pengajian. Massa menduga, keempat kawan mereka ditahan di kantor Kodim. Masih jauh dari kantor Kodim, pergerakan massa dihadang aparat di depan Polres 702 Jakarta Utara.

Momen malam kelam itu digambarkan Wasis dalam bukunya Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok: Tragedi Yang Tidak Perlu yang terbit tahun 2003, berdasarkan kesaksian Kapten Sriyanto.

Saat itu Kapten Sriyanto tidak bersenjata, ia hanya membawa handy talky. Saat Sriyanto melakukan koordinasi dengan aparat Polres, massa sudah mendekati kantor Polres. Sriyanto pun menghadang.

“Assalamu’alaikum, saya ingin bicara dengan pimpinan saudara.”

“Siapa pimpinan kami?” teriak salah seorang dari kerumunan massa.

“Bapak Amir Biki,” jawab Sriyanto.

Saat itu Sriyanto belum kenal betul dengan sosok bernama Amir Biki. Tak berapa lama, Sriyanto sudah diancam dengan senjata tajam berupa clurit, dibarengi dengan teriakan Allahu Akbar, jihad fi sabilillah.

“…Orang tersebut dengan berang terus mengayun-ayunkan clurit ke arah saya, dan saya menghindar dengan cara meloncat ke belakang. Orang tersebut tambah beringas, malah berteriak ‘tidak ada kompromi dengan ABRI’. Ini bukan sekadar menakut-nakuti, tapi dia benar-benar serius menyabetkan senjatanya ke arah kepala saya.” (Wasis, 2003 : 170-171).

Untuk menghindari ancaman sabetan clurit yang terus mengejarnya, Sriyanto mundur ke belakang, hingga ia terhadang oleh mobil-mobil rusak yang berada di sekitar kantor Polres. Saat terdesak itulah, salah seorang anggotanya melepaskan tembakan peringatan ke atas, kemudian ke bawah. Orang yang mengejar Sriyanto dengan clurit pun roboh.

Itulah pemicu peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang menyebabkan sejumlah orang tewas, termasuk Amir Biki.

SUKARDI MENGHILANG

Di mana Sukardi? Pasca peristiwa Rabu malam, 5 September 1984, keesokan harinya Sukardi dipanggil ke kantor Koramil. Sejak itu ia tak berani pulang ke rumah. Apalagi setelah peristiwa Tanjung Priok 1984.

“Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 memaksa saya meninggalkan anak dan istri maupun pekerjaan yang merupakan sumber nafkah keluarga, guna menghindari kejaran atau penangkapan pihak aparat keamanan sehubungan aktivitas saya sebelum meletus peristiwa Tanjung Priok. Perisiwa Tanjung Priok menjadi hikmah karena mengawali langkah perjalanan saya untuk bergabung dengan kelompok pengajian usroh.” (Sukardi, 2006:37).

Dari pengajian usroh inilah Sukardi mengenal Nurhidayat, salah satu aktivis pengajian usroh pimpinan Abdullah Sungkar. Saat itu Nurhidayat dikenal sebagai sosok radikal yang lebih cenderung berjihad secara fisik. Sebagai anggota kelompok Nurhidayat, Sukardi digembleng secara militer untuk dipersiapkan menjadi pasukan khusus. Setelah berbai’at kepada Nurhidayat, dan menjadi anggota pasukan khusus, Sukardi pun diberi tugas melakukan fa’i sebagai upaya menghimpun dana perjuangan.

Pengertian fa’i dalam Islam adalah segala harta kekayaan orang-orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslimin tanpa peperangan. Misalnya, ketika orang-orang kafir melarikan diri dengan meninggalkan rumah dan harta mereka, maka harta tersebut dikuasai oleh kaum muslimin. Atau, ketika orang-orang kafir melakukan perdamaian dengan kaum muslimin kemudian menyerahkan sebagian dari harta dan tanah mereka.

Namun praktek fa’i yang dilakoni kelompok Sukardi berbeda dengan makna di atas. Yang sesungguhnya mereka lakukan adalah perampokan atau perampasan dengan dalih fa’i. Karena, yang mereka jadikan sasaran ya orang Islam juga. Cuma, dalam pandangan mereka, orang Islam di luar kelompok mereka adalah kafir.

Pasca Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir hengkang ke Malaysia (1985), dan penangkapan besar-besaran kelompok pengajian usroh di Jakarta dan Solo (1986), kegiatan usroh terhenti.

Namun di tahun 1988, Nurhidayat berinisiatif membangkitkan kegiatan usroh meski dari rumah ke rumah. Pertengahan Desember 1988, Sukardi didatangi Riyanto yang membawa pesan dari Nurhidayat. Isi pesannya, Nurhidayat memerintahkan Sukardi hijrah ke Lampung.

“Untuk bekal berangkat hijrah ke Lampung, saya jual semua dagangan kacamata dan peralatannya yang ada di optik. Pihak pimpinan jama’ah sama sekali tidak memberi bekal, selain sepucuk surat rekomendasi yang diberikan saudara Fauzi Isman kepada saya. Setelah merasa mempunyai cukup bekal, pada tanggal 5 Januari 1989, saya sekeluarga meninggalkan Jakarta menuju Lampung…” (Sukardi, 2006:43)

Di Lampung, Sukardi langsung ke rumah Zamzuri di Sidorejo. Barulah keesokan harinya, Sukardi dan anggota keluarganya menuju Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari, diantar Sutan Malano. Di sinilah Sukardi bertemu dengan Warsidi.

Di atas tanah hibah dari Jayus itu dibangun sebuah mushalla, juga sejumlah pondokan. Sukardi ikut membangun pondokan untuk keluarganya dan bagi para muhajirin yang akan datang kemudian.

Selain beribadah secara rutin, aktivitas yang dilakukan Sukardi dan para jama’ah adalah menggelar diskusi tentang rezim Orde Baru yang memberlakukan azas tunggal Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. “Pemberlakuan azas tunggal dinilai oleh para jama’ah Warsidi sebagai perampasan hak Allah dan karena itu wajib hukumnya untuk ditentang dan diperangi…” (Sukardi, 2006:48)

Kegiatan pokok lainnya adalah mempersiapkan perang. Sukardi dan jama’ah Warsidi lainnya, membuat parit dengan kedalaman satu setengah meter di sekitar pemukiman mereka, yang dimaksudkan sebagai tempat untuk mempertahankan diri jika perang kelak berlangsung.

Mereka juga mengumpulkan banyak botol kosong untuk diisi serbuk gergaji dan bensin, dilengkapi dengan sumbu penyulut, maka jadilah bom molotov. Ide bom molotov ini digagas Ir. Usman.

Sukardi dan jama’ah Warsidi lainnya, juga melakukan latihan bela diri dan belajar memanah. Panah rancangan Sudarsono ini memang kurang lazim, terbuat dari jeruji becak atau sepeda, Pangkal anak panah dibubuhi racun getah poh, dan dilontarkan dengan ketapel.

Mereka sudah mempersiapkan sebuah peperangan, jauh sebelum rombongan Kapten Sutiman mendatangi Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari pada 6 Februari 1989. Maka, ketika rombongan Kapten Sutiman datang, yang sesungguhnya untuk tabayun, dimaknai sebagai ajakan berperang. Mereka pun membunuh Kapten Sutiman. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. (tonto)


No comments:

Post a Comment

Karawang Portal | adalah tempat belajar blogger pemula dan profesional. Kamu bisa menemukan kami di sosial media berikut.

Note: Only a member of this blog may post a comment.

×
Berita Terbaru Update