Notification

×

Iklan

Iklan

Paham Takfiri di Talangsari: Benih Radikalisme dan Terorisme Pra ISIS

Thursday, January 7, 2021 | 10:54 WIB Last Updated 2021-01-07T03:54:01Z
karawang portal
 Paham Takfiri di Talangsari: Benih Radikalisme dan Terorisme Pra ISIS

KARAWANG PORTAL - Secara sederhana, makna takfiri adalah tindakan mengkafirkan orang lain (sesama muslim) karena perbedaan pandangan dan pemahaman tentang nilai maupun ajaran agama.

Sebagai isu global, paham takfiri dilekatkan dengan kiprah dan eksistensi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang dideklarasikan oleh Al-Baghdadi pada April 2013, kemudian menjadi IS (Islamic State) pada Juni 2014. Paham takfiri menjadi begitu menyeramkan ketika ISIS atau IS menerjemahkan pahamnya itu dalam bentuk tindak kekerasan berdarah-darah yang dipublikasikan secara sengaja di media sosial.

Sebagian kalangan memandang, paham takfiri yang menjangkiti sejumlah kelompok gerakan garis keras di Indonesia merupakan pengaruh dari gerakan transnasional yang berbasis di Timur Tengah. Pandangan ini tidak selalu benar. Karena, jauh sebelum ada IS atau ISIS dan sebagainya, paham takfiri sudah menjangkiti sebagian dari anak bangsa ini. Antara lain menjangkiti komunitas Warsidi di Lampung yang pada awal 1989 memproduksi gegeran atas nama agama.

Penganut paham takfiri berkeyakinan bahwa pemahaman mereka terhadap ajaran Islam dan penafsiran terhadap Al-Qur’an merupakan penafsiran yang final, sehingga siapa pun yang berbeda pandangan dengan khazanah pemikiran mereka dimaknai sebagai melawan Islam dan menentang Al-Qur’an. Kemudian kondisi ini dijadikan landasan untuk mendiskreditkan dan menyerang kelompok yang berbeda pemahaman meski dalam satu akidah.

Unsur utama komunitas Warsidi adalah sejumlah pelarian aktivis gerakan usroh Abdullah Sungkar dari Jawa Tengah, terutama Solo. Salah satunya Fadillah alias Sugito.

Fadillah sejak 1985 sudah aktif mengikuti pengajian Abdullah Sungkar, pimpinan pondok pesantren Al-Mumin di Ngruki, Solo. Menurut Fadillah, Abdullah Sungkar sering mengkritik dan mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tidak sah, tidak berjalan di atas rel Al-Qur’an dan Hadits (Wasis, 2001: 99).

Pada 1985, Abdullah Sungkar melarikan diri ke Malaysia. Fadillah pun hengkang ke Lampung, berpindah-pindah tempat, hingga akhirnya ia menetap di Talangsari, di atas sebidang tanah milik Warsidi. Sebidang tanah ini merupakan hibah dari Jayus alias Dayat bin Karmo, mantan perampok yang ‘bertobat’ dan menjadi unsur penting komunitas pengajian Warsidi.

Selain Fadillah, pengikut setia Abdullah Sungkar yang kemudian juga menjadi unsur komunitas Warsidi, adalah Abadi Abdullah, Dullah, Sugeng Yulianto, Tardi Nurdiansyah, Ir. Usman, Umar dan Suryadi.

Suryadi adalah juru dakwah asal Solo. Selama beberapa tahun ia sempat bersama-sama Warsidi, namun sekitar satu tahun sebelum geger Talangsari terjadi, Suryadi sudah tidak bersama Warsidi.

Dalam ingatan Suryadi, selama ia berinteraksi dengan Warsidi, sang Imam ini pernah mengatakan bahwa: “…hukum, selain hukum Allah, kafir. Hormat bendera, musyrik. Gotong royong, bid’ah. Pemerintah kita itu thogut dan hukumnya batal diikuti.” (Wasis, 2001: 81).

Berdasarkan penjelasan Suryadi tadi, kita bisa menyimpulkan bahwa paham takfiri sudah ada di Talangsari jauh sebelum ISIS atau IS menjadi pemberitaan media massa internasional.

Gerakan usroh Abdullah Sungkar, tak lantas padam. Meski sang imam Abdullah Sungkar bersama Abu Bakar Ba’asyir hengkang ke Malaysia, gerakan usroh binaan mereka tidak mati angin.

Sebelum kabur ke Malaysia, Abdullah Sungkar sudah punya tiga kader yang melanjutkan gerakan usrohnya hingga Jakarta, dan sejumlah kota lainnya. Mereka adalah Ibnu Thoyib alias Abu Fatih, Muchliansyah alias Solihin, Broto alias Ahmad Furqon alias ustadz Ahmad.

Ibnu Thoyib alias Abu Fatih, kelak ketika Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mendirikan JI (Jama’ah Islamiyah) di tahun 1993, ia memimpin Mantiqi II Jama’ah Islamiyah.

Gerakan usroh Abdullah Sungkar yang dikawal ketiga kader muda tersebut, kemudian menghasilkan sosok seperti Nurhidayat dan kawan-kawan, yang di kemudian hari menjadi tokoh penting peristiwa Talangsari yang meletus pada Februari 1989.

Sukardi, salah satu tokoh penting geger Talangsari 1989, sudah aktif menjadi anggota usroh Abdullah Sungkar sejak 1985. Kemudian ia direkomendasikan menjadi anggota pasukan khusus pimpinan Nurhidayat. Pada Januari 1989, Sukardi bersama seluruh angota keluarganya hijrah ke Talangsari, sesuai perintah Nurhidayat.

Menurut Sukardi, “…benih-benih radikalisme mulai tumbuh pada diri Warsidi semenjak Usman, seorang insinyur jebolan Universitas Gadjah Mada, bergabung. Ia tidak hanya menghidupkan Cihideung sebagai tempat mengaji, tetapi juga mulai memprovokasi Warsidi serta jama’ahnya untuk bersikap anti pemerintah dan Pancasila…” (Sukardi, 2006: 46).

Bila pernyataan Sukardi di atas dihubungkan dengan pernyataan Suryadi sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa paham takfiri menjadi medium bagi tumbuhnya paham radikal pada diri seseorang. Dan itu terbukti terjadi di Talangsari sekitar tiga dasawarsa yang lalu. (tonto)

No comments:

Post a Comment

Karawang Portal | adalah tempat belajar blogger pemula dan profesional. Kamu bisa menemukan kami di sosial media berikut.

Note: Only a member of this blog may post a comment.

×
Berita Terbaru Update