Kisah Sertu Yatin Berhadapan dengan Warsidi |
KARAWANG PORTAL – Aroma kekejaman paham takfiri bisa dilihat dari pengalaman traumatis yang dialami Sersan Satu Yatin. Anggota Koramil Way Jepara ini pada tanggal 6 Februari 1989 ikut dalam rombongan aparat militer dan sipil dalam rangka melakukan tabayun (klarifikasi) atas sejumlah laporan dari warga Talangsari tentang keberadaan jama’ah Warsidi yang dinilai aneh.
Sehari sebelumnya, tanggal 5 Februari 1989, Sukidi yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa (Kades), meneruskan informasi dari warganya kepada Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara), bahwa ada enam anak muda dalam balutan pangsi hitam dilengkapi senjata tajam seperti pedang, celurit, golok dan panah, seolah bersiap hendak berperang. Inilah salah satu keanehan jama’ah Warsidi yang dilihat warga Talangsari.
Disebut aneh, karena Talangsari bukanlah kawasan bergejolak. Lalu untuk apa ketentuan jam malam diberlakukan? Untuk apa kegiatan ronda diaktifkan tanpa melibatkan warga? Mengapa petugas ronda ditetapkan hanya dari kalangan jama’ah Warsidi, sedangkan warga diminta tetap diam di rumah pada saat jam malam diberlakukan? Untuk apa pula mereka mepersenjatai diri dengan celurit, golok dan panah? Keanehan seperti inilah yang perlu diklarifikasi.
Dengan sigap, Kapten Soetiman merespon laporan Kades Sukidi. Ia memerintahkan Serma Dahlan dan Kopda A. Rahman mendatangi lokasi. Bersama perangkat Desa Talangsari III, mereka mendatangi lokasi jama’ah Warsidi, malam itu juga. Di lokasi, laporan Kades Sukidi terbukti benar.
Saat itu, mereka melihat ada enam anak muda sedang ronda di lokasi jama’ah Warsidi, dilengkapi dengan senjata seperti golok, pedang, bahkan bom molotov. Keenam anak muda itu kemudian diamankan aparat, namun satu orang diantaranya berhasil meloloskan diri, dan melaporkan kejadian tersebut kepada Warsidi.
Namun, aparat tidak mendapatkan informasi layak dari kelima jama’ah Warsidi yang berhasil diamankan. Sehingga dalam rangka tabayun (klarifikasi), keesokan harinya aparat sipil dan militer mendatangi lokasi jama’ah Warsidi, tanggal 06 Februari 1989.
Sersan Satu Yatin menjadi bagian dari rombongan itu, yang terdiri dari Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara), Serma Dahlan, Mayor EO Sinaga (Kasdim 0411 Lampung Tengah), Letkol Hariman S (Kakansospol Lampung Tengah), Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III), Amir Puspa Mega (Kepala Desa Rajabasa Lama), Aji Zarnubi (Kepala desa Pakuan Aji), dan Zulkifli Malik (Camat Way Jepara).
Kedatangan rombongan aparat sipil dan militer ini, oleh jama’ah Warsidi dimaknai sebagai ajakan berperang. Mereka pun menyerang dan membunuh Kapten Soetiman yang berada paling depan. Belum sepenuhnya kaki Kapten Soetiman menjejakkan tanah, sesaat masih di atas sepeda motor, anak panah yang dilontarkan Marsudi, kakak kandung Warsidi, menembus tubuhnya, diikuti dengn tebasan bandorit oleh Marsudi yang mengakhiri kehidupan sang Kapten pemberani ini.
Sementara itu, Sersan Satu Yatin yang sedang berusaha menolong Kapten Soetiman, jadi sasaran anak panah beracun yang dilontarkan sang Imam Jama’ah, Warsidi. Mereka sempat beradu pandang. Panah beracun dilontarkan Warsidi sambil mengumpat, “Mati kau, kafir!”
Sertu Yatin yang beragama Islam, diposisikan sebagai kafir oleh Warsidi, sang Imam Jama’ah yang pernah menjadi bagian dari gerakan NII Lampung. Itulah bukti bahwa di belahan Sang Bumi Ruwa Jurai sudah pernah dihuni oleh sekelompok orang yang berpaham takfiri.
Dalam keadaan terluka, Sertu Yatin berusaha menyelamatkan diri, keluar dari gelanggang pembantaian. Luka parah di punggung Sertu Yatin, memang berangsur sembuh. Namun, luka bathin yang diderita Sertu Yatin tak kunjung sembuh. Bayang-bayang wajah dan tatapan Warsidi sebelum melontarkan anak panah beracun, menghantui pikirannya dalam jangka waktu yang cukup lama, begitu menyeramkan, menoreh luka bathin yang dalam. Akibatnya, Sertu Yatin mudah stress dan merasa gelisah berkepanjangan paska serangan jama’ah Warsidi.
Ribuan hari telah berlalu pasca kejadian traumatis yang menimpa Sertu Yatin. Ketika ia disambangi kawan-kawannya untuk sekedar mendapatkan informasi langsung, Sertu Yatin menyebut nama Warsidi dengan rasa takut, bahkan ia tidak berani menyebut nama Warsidi tanpa mengawalinya dengan sebutan “Imam”.
Di tahun 2005, keluarga Sertu Yatin disambangi seorang perempuan yang mengaku berasal dari sebuah LSM. Perempuan itu menanyakan keberadaan Sertu Yatin kepada sang isteri, bahkan juga kepada sang anak ketika masih berada di sekolahnya.
Pengalaman traumatik yang melukai bathin Sertu Yatin, membuat kunjungan orang LSM itu dimaknai sebagai upaya mengungkap masa lalu yang tidak akan pernah diingatnya kembali. Ia justru merasa diteror. Maka, mereka sekeluarga pun pindah ke hunian baru yang diangapnya jauh lebih aman, menyeberangi pulau Sumatera.
Itulah salah satu contoh betapa paham takfiri itu begitu keji dan kejam, melukai bathin begitu dalam dan tak mudah sembuh meski sudah berlangsung sangat lama. (tonto/bg)
No comments:
Post a Comment
Karawang Portal | adalah tempat belajar blogger pemula dan profesional. Kamu bisa menemukan kami di sosial media berikut.
Note: Only a member of this blog may post a comment.