Kesaksian Ismed Inonu Pada Peristiwa Talangsari 1989 |
KARAWANG PORTAL - Menilik namanya, mengingatkan kita pada nama Presiden Turki ke-2, İsmet İnönü (1884-1973), yang menjabat sejak November 1938 hingga Mei 1950, setelah kepemimpinan Mustafa Kemal Atatürk.
Ismed Inonu (kini 60 tahun lebih) adalah warga asli Pakuan Aji, yang berkesempatan menjabat sebagai Kepala Desa di tanah kelahirannya ini. Pakuan Aji adalah kawasan yang berbatasan langsung dengan Cihideung, Talangsari III, tempat Warsidi besama kelompoknya menghimpun kekuatan melawan pemerintah.
Ketika gegeran terjadi, sekitar tiga dekade lalu, Ismed Inonu adalah sosok pemuda gagah yang pandai memanfaatkan peluang. Ketika ia mendapati arus pergerakan manusia menuju Cihideung semakin deras, nalurinya bekerja. Ismed mengambil peran sebagai pengojek sepeda motor.
Peran inilah yang kelak menjadikannya sebagai saksi hidup atas peristiwa radikalisme di provinsi Sang Bumi Ruwa Jurai.
Saat itu, jarak terdekat untuk mencapai Cihideung, Talangsari III, adalah melalui Pakuan Aji. Dengan sepeda motor, waktu tempuh yang dibutuhkan hanya sekitar 10 menit.
Beberapa kali Ismed berkesempatan mengantarkan sejumlah orang dari Jawa menuju Cihideung, Talangsari III. Ismed bertanya, hendak bertemu siapa di sana? Jawaban yang diperoleh sama, yaitu hendak mengaji kepada Kiai Warsidi.
Sosok Warsidi yang dikenal Ismed selama ini bukanlah seorang Kiai, tetapi buruh koret di kebun. Di dalam hati, Ismed membatin: sejak kapan sang buruh koret ini jadi Kiai?
Arus pengunjung dari Jawa itu semakin banyak, dan mereka menetap bersama Warsidi di Cihideung, Talangsari III. Sehingga membuat Cihideung yang semula sepi, menjadi lebih hidup. Perubahan ini tentu saja menarik perhatian masyarakat sekitar.
Bersamaan dengan itu, timbul masalah. Warga sekitar melaporkan, tanamannya sering hilang dicuri orang. Berumpun bambu hilang, berbutir kelapa lenyap, begitu juga dengan ubi kayu.
Tak sulit mengarahkan dugaan ke arah mana sejumlah komoditi yang hilang tadi bermuara. Rupanya, peristiwa itu adalah ekses dari ketidaksiapan tuan rumah menyiapkan logistik bagi arus tamu dari Jawa yang menderas dengan tiba-tiba.
Bukan bilah bambu yang lenyap, bukan butir kelapa yang melayang, bukan ubi kayu yang tercerabut paksa, yang membuat masyarakat sekitar demikian risau. Tapi, risau dan resah masyarakat sekitar disebabkan oleh materi khotbah yang tak lazim bagi telinga orang desa. Sumber khotbah-khotbah itu berasal dari pondokan Warsidi.
Antara lain dikatakan, bahwa pemerintah zalim, Pancasila batal, menghormat bendera itu dosa, yang tidak berjama’ah kepada Warsidi tergolong kafir.
Ismed menangkap suasana anti pemerintah melalui khotbah-khotbah itu. Maka, ia pun berinisiatif melarang anak muda di sana mengikuti pengajian di tempat Warsidi.
Kesan anti pemerintah itu semakin menguat, ketika mereka tidak mengindahkan panggilan Kepala Desa untuk lapor diri, agar bisa diindentifikasi keberadaan para tamu dari Jawa yang menderas tiba-tiba ke Cihideung.
Mereka juga menolak ajakan gotong royong membersihkan desa. Mereka juga menolak ajakan ronda bergilir menjaga keamanan desa.
Malahan, yang terlihat adalah kegiatan berlatih silat dan membuat panah. Ketika ditanya, untuk apa membuat panah? Mereka bilang, untuk membunuh orang kafir.
Siapa yang mereka maksud dengan orang kafir? Jawabannya diperoleh pada saat Kapten Inf. Soetiman tewas tertancap panah beracun yang dilanjutkan dengan tebasan parang oleh mbah Marsudi, kakak kandung Warsidi. Peristiwa itu terjadi 29 tahun lalu, tanggal 06 Februari 1989. (tonto)
No comments:
Post a Comment
Karawang Portal | adalah tempat belajar blogger pemula dan profesional. Kamu bisa menemukan kami di sosial media berikut.
Note: Only a member of this blog may post a comment.