Jayus, Dari Kriminalis Menjadi Radikalis |
KARAWANG PORTAL - DALAM kamus bahasa anak gaul, kosa kata “jayus” dimaknai sebagai materi lawakan yang tidak lucu alias garing.
Sejak tahun 1990-an kosa kata “jayus” sudah populer di kalangan anak muda saat itu. Bahkan hingga kini masih sering digunakan.
Istilah jayus tercipta bukan dari sebuah ruang hampa. Konon, ada seorang anak dari kawasan Kemang, bernama Herman Setiabudhi. Saat bergaul dengan teman-temannya, Herman sering melontarkan lawakan, namun materi lawakannya tidak lucu alias basi. Maka, lawakannya pun disebut jayus.
Mengapa jayus? Ternyata Jayus adalah nama orangtua Herman Setiabudhi, seorang pelukis yang saat itu mangkal di kawasan Blok M, dengan nama lengkap Jayus Kelana.
Namun, Jayus yang dibicarakan pada tulisan ini bukan Jayus asal Kemang. Jayus yang ini bernama asli Dayat. Nama bapaknya Karmo. Sehingga sering disebut dengan nama Dayat bin Karmo.
Berbilang tahun Dayat bin Karmo menjalani hidup sebagai perampok, di kawasan Sumbagsel. Kalau toh akhirnya Dayat berhenti menjadi perampok, itu bukan karena dia sudah bertobat. Tapi, karena takut jadi sasaran petrus (penembak misterius).
Disebut misterius, karena pelakunya tidak jelas, tapi sasarannya jelas, yaitu penjahat sadis yang melakukan aksi kriminalnya disertai dengan kekerasan. Salah satu contohnya, seorang anak perempuan dirampas anting-antingnya dengan kekerasan sehingga menyebabkan telinganya robek. Berdarah-darah.
Kriminalitas di tahun 1980-an, memang sangat tinggi dan sadis. Fenomena petrus berlangsung antara tahun 1983-1984.
Presiden Soeharto, dalam otobiografinya mengatakan, “…Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja, bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak. Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu…” (Ramadhan KH, 1989).
Dayat bin Karmo bagian dari kriminalis sadis pada masa itu. Menghadapi fenomena petrus, tidak hanya tubuhnya gemetar, tetapi juga nyalinya menjadi ciut. Sang perampok ini pun berupaya mengganti jati diri. Menjalani hidup mimikri, sampai akhirnya bertemu dengan Warsidi.
Sang perampok ini pun menjadi murid Warsidi, memahami ajaran agamanya yang sekian lama ditinggalkannya. Dayat pun menghibahkan tanahnya seluas lima hektar kepada Warsidi. Tanah itu terletak di Dukuh Cihideung, Talangsari, Lampung.
Untuk menunjukkan keseriusannya, Dayat mengubah namanya menjadi Jayus. Penggantian nama ini menjadi bagian dari proses ‘hijrah’ seorang Dayat menjadi Jayus, dari perampok menjadi aktivis pengajian Warsidi.
Dalam bahasa Arab, arti kata jayus adalah seseorang yang suka mencuri kain kafan dari dalam kuburan. Rasanya bukan makna ini yang menjadi pilihan Dayat untuk nama barunya.
Selain jayus ada juga jaysh. Arti jaysh adalah tentara. Kemungkinan makna ini yang dimaui oleh Dayat. Yaitu, menjadi tentara Warsidi yang memerangi pemerintah.
Di tengah-tengah konflik Suriah, ada Jaysh al-Islam yang dibentuk untuk memerangi ISIS sekaligus rezim Bashar al-Assad.
Lahan di pedukuhan Cihideung itu pun bersolek. Dari belantara tak bertuan, menjadi situs berpenghuni, yang semakin berjiwa setelah pelarian kasus usroh asal Jawa Tengah seperti Fadhillah alias Sugito menjadi bagian dari komunitas itu, setidaknya sejak 1985.
Komunitas pengajian ini menjadi radikal berkat Ir. Usman, pelarian kasus usroh Abdullah Sungkar yang punya kemampuan berdakwah. Jayus pun menjadi radikalis.
Menurut Riyanto, mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi, dalam kasus Talangsari, Jayus diposisikan sebagai orang kedua setelah Warsidi. “Jayus selama ini dikenal sebagai sosok yang ikhlas berkorban dan berjuang untuk menegakkan negara Islam, dengan menjadikan pedukuhan Cihideung sebagai basis perjuangan. Dihibahkannya tanah seluas satu setengah hektar merupakan bukti kongkrit keseriusan Jayus dalam hal ini.
Namun menurut Riyanto, di tahun 2001, berbagai media massa memberitakan keterlibatan Jayus bersama Kontras dan Komite Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangasari. Jayus bersama enam orang yang diakunya sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.
“Padahal, sebelumnya, di tahun 2000, pada forum ishlah nasional yang berlangsung di Cibubur, Jayus dipercaya oleh pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari sebagai koordinator umum Gerakan Islah Nasional (GIN). Islah nasional ini kemudian menjadi landasan dan alasan yang kuat bagi pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari untuk menutup dan tidak akan pernah membuka kembali kasus Talangsari; disamping untuk menjalin perdamaian dan persaudaraan di antara para pelaku dan aparat beserta keluarganya masing-masing.”
Begitu tulis Riyanto dalam sebuah blognya.
Rupanya, watak kriminalis Jayus lebih dominan. Sehingga ketika rasa takut akibat fenomena petrus sudah hilang, dia kembali kepada watak aslinya, sebagai kriminalis. Dari kriminalis, menjadi radikalis, kemudian kembali menjadi kriminalis. Benar-benar jayus, garing… (tonto)
No comments:
Post a Comment
Karawang Portal | adalah tempat belajar blogger pemula dan profesional. Kamu bisa menemukan kami di sosial media berikut.
Note: Only a member of this blog may post a comment.